Thumb Pemimpin Resilien dan Kepemimpinan Resilien

Pemimpin Resilien dan Kepemimpinan Resilien

Pemimpin resilien telah menjadi satu karakteristik yang menjadi syarat wajib dari pemimpin zaman now. Berbagai literatur dan juga praktik terbaik dari perusahaan yang mampu bertahan pada situasi krisis, semakin membuktikan bahwa resiliensi merupakan kriteria yang tidak terhindarkan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin. Apa yang dimaksud dengan pemimpin resilien?

 

Seorang pemimpin resilien tidak tiba-tiba muncul jatuh dari langit dengan segala kebisaannya. Ia adalah individu yang memiliki kemauan untuk mendorong dirinya dan tertempa oleh pengalaman yang beragam, yang membuatnya memiliki daya lenting yang baik, alias cepat bangkit dari keterpurukan. Ibarat bola, jika dijatuhkan makai a akan memantul, semakin keras dijatuhkan semakin tinggi pula ia memantul. Itulah resilien.

 

Pemimpin yang resilien akan memimpin dengan matang,  memiliki kejelasan dan keyakinan di tengah-tengah ketidakpastian. Pemimpin resilien bukan berarti tidak punya rasa takut, melainkan mengetahui betul cara-cara untuk mengelola dirinya sendiri baik fisik maupun emosional, dalam menghadapi kondisi sulit dan menantang.

 

Lantas, apa bedanya pemimpin resilien dengan kepemimpinan resilien? Ketika seorang pemimpin sebagai individu sudah menguasai keterampilan yang dibutuhan sebagai pemimpin resilien, maka ia akan lebih mudah mewujudkan kepemimpinan resilien.

 

Kepemimpinan resilien pada akhirnya tidak hanya bicara satu aspek atau area individu saja, melainkan bagaimana kita sebagai pemimpin mampu membangun resiliensi di berbagai lingkup kehidupan kita, termasuk kantor, rumah, keluarga, dan lainnya.

 

Tanda-tanda apa saja yang mengindikasikan bahwa kita sudah memiliki kepemimpinan resilien?

 

Pertama, tenang. Manusiawi jika seseorang merasa cemas, namun ia akan berada dalam taraf mampu mengelola rasa cemas tersebut, terlebih lagi ketika menghadapi sesuatu yang berat atau di luar dugaan.

 

Kedua, menunjukkan keyakinan dalam memimpin. Segala pilihan tentu ada risikonya, ada konsekuensinya, namun ia sudah mempersiapkan diri dengan segala antisipasi, sehingga kesalahan atau kegagalan akan dipandang sebagai proses.

 

Ketiga, ia adalah orang yang menjaga keterhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, sistem emosi yang perlu dipahami bukan hanya sistem emosi saya sendiri, melainkan juga “sistem emosi organisasi”. Menurut Bob Duggan dalam bukunya Resilient Leadership, ketika seorang pemimpin mampu memahami sistem emosi organisasi, maka pemimpin akan mampu juga untuk menenangkan “kepanikan” organisasi, meminimalisir kebingungan, dan menebarkan semangat produktif Kembali. Jadi, sekali lagi, bukan hanya  sampai level individu.

 

Apa yang sulit dari menerapkan kepemimpinan resilien? Sumber dari berbagai literatur menyebutkan beberapa, di antaranya: Budaya kerja yang kompetitif dan terlalu menekankan hanya pada action, tanpa refleksi, tanpa perenungan, tanpa jeda untuk evaluasi.

 

Kemudian, adanya kebiasaan untuk sulit menolak sesuatu, rasa tidak enak, sungkan, yang membuat kita terus tenggelam dalam kesibukan tiada henti sehingga kita tidak pernah sempat untuk belajar dan mengembangkan kapasitas. Atau juga kita merasa harus selalu kuat, tidak boleh terlihat lemah, lemah itu hal yang memalukan. Dan beberapa alasan lainnya yang semakin menjauhkan kita dari kepemimpinan resilien.

 

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kepemimpinan resilien?

 

Pertama, Tingkatkan awareness, baik kesadaran diri sendiri maupun orang-orang di sekitar, anggota tim. Perhatikan respon kita dalam situasi stres, respon anggota tim kita juga. Apa yang paling membuat tertekan? Gejala apa yang muncul? Semakin peka kita mengenali reaksi diri dan anggota tim kita, semakin cepat jkita mencari cara untuk mengelolanya.

 

Kedua, Bangun ritual diri dan anggota tim yang mendukung produktivitas, mulai dari hal-hal yang sederhana di keseharian seperti berolahraga, tidur teratur, mencari udara segar. Membiasakan diri untuk saling memberikan masukan, terbuka dengan ide apapun yang dikemukakan, dan sebagainya.

 

Ketiga, Terus temukan pandangan dan perspektif baru, latih diri kita dan anggota tim untuk menemui rasa sakit, rasa tidak nyaman, rasa tidak biasa dalam menghadapi sesuatu. Seiring kita fokus pada pengalaman dan pembelajaran terlepas dari rasa-rasa tidak enak yang sudah pasti muncul, kita akan merasa percaya diri untuk menghadapi tantangan yang beragam.

 

Resiliensi seperti otot. Melalui perencanaan yang solid, Latihan yang konsisten, menerima umpan balik, berefleksi, dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan dengan tujuan agar ke depannya lebih baik, ia akan terbangun di dalam diri kita dan juga anggota tim kita.

 

Apalagi yang Anda tunggu?

 

 

Salam SuksesMulia

 

Jamil Azzaini

Inspirator SuksesMulia

0 comments

Leave a comments


WhatsApp